FROM TAKALAR TO USA
Sejak kecil, saya tak terbiasa dengan gemerlapnya ibukota. Saya hanyalah seorang anak kecil yang kesehariannya hanya mennjual es dan mengumpulkan kayu bakar, dan jika tinggal di rumah, selalu ditemani dengan televisi hitam putih dengan siaran favoritnya “film dengan judul LITLE HOUSE ON THE PREIRE” hingga sering bermimpi untuk bermain-main salju. Sebagian orang di sekitar rumahku bahkan sering berkata bahwa saya ini hanyalah anak miskin yang tak akan pernah ditakdirkan untuk hidup bahagia dan bisa merasakan hingarnya suasana kota. Sedih memang, namun saya sangat sadar bahwa kata-kata mereka memang benar. Terlebih, rumah kami yang hayalah sebuah rumah panggung yang sudah mau rubuh. Dan yang paling “Gokil”nya hidupku adalah saya ditakdirkan memiliki ciri yang berbeda dengan teman teman yang lain. Ibu saya yang sejak saya masih berada dalam kandungannya terus mengkonsumsi obat antibiotik karena penyakit, harus merelakan anaknya ini memiliki warna gigi yang berbeda, KUNING. Yah, sedari kecil, saya dilahirkan dengan gigi yang berwarna kuning. Tidak banyak yang mau berteman dengan saya. Saya menjadi tak berani bermimpi untuk menjadi bintang kelas, ikut lomba lomba dan lain sebagainya. Masa kritis dalam bersosialisasi saya lalui selama bertahun tahun hidup dalam hinaan, sampai akhirnya saya merasa kenyang hidup dalam HINAAN dan akhirnya kebal. Untungnya disamping saya selalu ada almarhumah ibu saya, R. DG Kebo, yang selalu hadir dengan wejangannya yang simple, “Punna niak ancallako nak, teakmako pakrisi nyawanu, aklukmi naung, purusuki barambannu, malah paralluki assukkuruk katenaja kimange akpalak palak ri ballakna. Akpilajarakko baji-baji. Niak antu sallang na ammoterek mangeja rikalenna kana kanannna. Ikau bella mako na ia anrinni injai iya ritampa-tampakna.” Yah, suatu pesan yang selalu saya simpan erat dalam diri saya. Yang saya jadikan sebagai obat penyemangat dan pemberi motivasi setiap saat. Saya akhirnya terbiasa untuk hidup menyendiri, hidup dengan segala mimpi-mimpiku untuk bisa sukses.
Tepat tahun 1997, saya tamat SMA dan menjadi satu satunya anak SMA yang lulus lewat jalur UMPTN di Universtias Negeri di Jalan Sawi tempat tinggal saya di Kabupaten Takalar. Hinaan itu datang lagi...tapi saya tak menyalahkannnya.....itu memang benar karena memang saya bukan orang kota...dan lebih tepatnya lagi bukan orang desa yang sok KEKOTA-KOTAAN. Ayah saya yang merupakan PNS Gol. II/C pada saat itu, mengalami kegaluan. Beliau harus menguliahkan kami bertiga di Makassar pada saat yang bersamaan. Galau karena sebagian gaji telah terpotong untuk bayar kredit yang uangnya telah dipakai untuk biaya kuliah kakak-kakak saya sebelumnya plus ongkos hidup kami sehari hari.
Teringat, untuk pertama kali saya masuk kuliah, saya diberikan hadiah oleh Amarhum Bapak saya. H. Zainuddin Dg Nyallang, selembar baju kain dan celana jeans serta sepasang sepatu. Ini diluar ekspektasi saya mengingat untuk bayar kontrakan saja susah. Namun, pas Bapak saya antar pulang untuk ambil pete-pete menuju Takalar, saya kembali dengan isakan air mata di tepi jalan. Saya kasihan melihat perjuangan Bapak saya yang tidak punya uang, tapi masih bisa mengusahakan memberikan saya hadiah tersebut, saking bahagianya melihat anak bungsunya kuliah di perguruan tinggi negeri. Banyak orang melihat saya, saya tetap cuek...mungkin mereka berfikir mengapa ada anak laki-laki menangis dan menyeka air matanya di tepi jalan. Namun, saya selalu berfikir, mereka tak pernah melihat dan merasakan apa yang saya dan keluarga saya rasakan.
Minggu-minggu pertama terlewati dengan baik, tanpa ada hambatan. Apatah lagi saya mendapatkan banyak kawan baru yang sangat solid. Ada, Ridwan Selayar, Rosman Bulukmba, Budi Jeneponto, Makki Barru, Arma Makassar, Andri Palopo, Ochie Pare-Pare, Fahma Pangkep, Elly Soppeng, Hamrin-Chica Bulukumba, Sari Makassar, dana bayka lagi yang lainnya. Mereka sangat ramah bahkan mengaggap saya adalah saudara mereka. Namun, setelah tuntutan dosen mulai banyak, hiduo mulai semakin menantang. Uang yang diberikan yanag hanyalah 5.000 Rupiah perminggu pastilah tak cukup. 2000 telah harus dipakai untuk ongkos PP Takalar Makassar, 3000 itu untuk beli lauk pauk selama seminggu...kata orang dulu....mana cukup.....! Yah memang betul tak akan pernah cukup. Minggu pertama balik, saya mulai minta tambahan dana dari orang tua, ibu saya malah berkata, mau ambil dimana nak, tidak ada lagi....sambil menangis. Saya hanya tersenyum sedikit melihat ibu sambil memeluknya seraya berbisik, Iye Amma, inimo saja. Nakke pa ampikkriki antekamama na ganna...punna parallu akpuasapa (iya Bu. Gapapa Uang ini saja. Biarkan saya yang berfikir bagaimana caranya hingga uang ini bisa cukup, jika perlu gak apa-apa saya puasa)..
Saya bahkan pernah merasakan harus berpuasa karena tidak punya uang. Yang ada hanya beras. Keesokan harinya saya harus berpuasa lagi karena tidak punya uang. Saya mencoba cari-cari uang di tas, dompet, laci, bawah bantal dan semua saku celana, namun tetap tidak ada. Di hari ketiga, saya putuskan untuk berpuasa lagi. Pada waktu Magrib tiba, saya seperti biasanya hanya bisa buka puasa dengan sepiring nasi dan air putih. Sampai pada saat sholat isya, ketika semua teman kost saya makan malam di warung, saya memutuskan untuk sholat Isya dan curhat dengan Tuhan. Baru saja saya mengangkat kedua tangan untuk takbir, saya sudah tak kuasa menahan air mata jatuh. Saya sholat sambil curhat pada Tuhan dalam sujud. Di sujud terakhir saya ceritakan pada Allah bahwa saya tak menyalahkan siapa-siapa. Saya hanyalah mengadu pada-Nya, bahwa hambaNya ini sudah tiga hari tak memiliki uang untuk beli lauk, meski banya sebungkus mie yang harganya 500 rupiah. Air mata tumpah ruah. Namun tiba-tiba terlintas bayangan gambar saku celana hitam dibelakang pintu. Saya menyudahi sujud dan menyelesaikan sholatklu. Saya mulai berdoa dan memohon kepada-Nya, supaya saya diberikan uang meski hanyak pembeli sebungkus mie. Alhasil, saya mulai mencari sebuah jeans hitam di belakang pintu, dan Kuasa Tuhan, uang itu ada di sana yang berjumlah 1000 rupiah. Saya tidak sadar langsung berteriak “ALLAHU AKBAR” sambil sujud syukur padaNya. Allah punya kuasa.
Inilah perjalan hidupku selama empat tahun kuliah. Harus hidup dengan biaya 5000 perminggu. Ini memaksa saya mencari kerja sambil kuliah. Bermacam-macam pekerjaan telah saya lakukan, jadi tukang batu, tukang campur semen, dan tukang cat. Namun, saya tak pernah beritahukan ini pada siapapun, termasuk ke sahabat sahabat saya dan keluarga saya. Pikiran saya waktu itu adalah bagaimana hingga bisa makan gratis untuk hari itu. Semua tak dibayar dengan uang, hanyalah dengan numpang makan gratis. Sembari melakukan pekerjaan itu, saya juga mulai melamar jadi staf pengajar di beberapa lembaga kursus. Hingga akhirnya lulus dan mulai dapat gaji 6000 Rupiah per jam.
Meski sudah punya pekerjaan, saya tetap tidak bisa beli baju baru, bahkan hal yang lain, karena gaji itu masih saya harus bagi dua dengan saudara saya yang kuliah di UNHAS waktu itu yang hidupnya sama susahnya dengan saya. Melihat hal ini, kawan kawan saya yang sedari dulu memperhatikan hidup saya, setelah memasuki semester 4, mulai prihatin melihat saya jarang ganti baju, celana dan sepatu. Mereka kerap berinisiatif meminjamkan baju, celana dan sepatu yang jarang dipakai oleh saudaranya yang bagi saya “SANGAT MAHAL HARGANYA”. Saya terharu melihat perlakuan sahabat-sahabat saya ini. Akhirnya saya pun memakai baju pinjaman mereka ke kampus.
Hidup banyak berubah, seiring berjalannya waktu, melihat saya termasuk orang yang cukup diperhitungkan dalam hal akademik di kampus. Terlebih saya berteman baik dan seangkatan dengan orang orang cerdasnya jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Angkatan 1997. Bergaul dengan orang sukses akhirnya kecipratan kesuksesan dalam nilai Nilai saya tidak jauh beda dengan nila- nilai merek dan akhirnya bisa bertengger di posisi ke dua tingkat Universitas di wisuda putaran tersebut. Kehidupan banyak berubah klimaksnya ada ketika saya mengenal sosok inspiratif “Prof. Dr. Mashadi Said, M.Pd”. Seorang Doktor termuda yang berhasil mengubah cara pandang hidup saya yang sedikit cuek dan mulai sedikit berfikir tentang masa depan dengan lebih teroganisir. Dengan menghilangkan Boundaries antara mahasiswa dan dosen di luar kelas, membuat saya nyaman belajar banyak hal dalam kesederahanaan dalam mendidik mahasiswanya. Hal ini semakin menjadi, ketika saya mengikuti final mata kuliah SPEAKING IV dan saya diharuskan bercerita di depan kelas tentang diri saya. Beliau kaget melihat saya yang cuek ternyata adalah guru bahasa Inggris anak SMA pada saat itu. Rasa penasaran beliau terhadap saya menjadi semakin menjadi besar ketika saya menawarkan diri untuk membantu beliau membersihkan rumahnya pada saat kebanjiran. Beliau terkejut melihat ada mahasiwa yang mau berbuat seperti ini.
Membantu beliau sekali, tetapi balasannya berlipat-lipat ganda. Saya telah berhasil didiknya menjadi “a real fighter”. Beliau selalu mengajarkan saya untuk tidak patah semangat ketika punya cita-cita. Beliau mengajar saya untuk banyak berbuat seuatu yang berguna dan hidup lebih efektif. Beliau yang memberitahu saya tentang mimpi kecil, target, usaha, doa, dan kesabaran serta kemandirian. Beliau yang selalu menelpon ke Almarhum Bapak saya jika saya ingin belajar lebih tapi perlu tambahan biaya sedikit. Untungnya, setiap Pak dosen ini yang menelepon ke almarhum Bapak, Bapak saya selalu mengiyakan dan selalu saja bisa berhasil menjual beras atau ayam pelihraannya. Kalaupun tidak, paling jeleknya adalah bisa berhasil minjam ke paman saya yang kerja di Pabrik Gula Takalar. Hidup saya lalui dengan sukses dan bisa wisuda tepat waktu dan berhasil bawa gelar Cum Laude dan wisudawan terbaik ke dua tingkat Universitas. Membuat kedua orang tua Bangga adalah cita cita muliaku....Termia kasih Tuhan.
Hidup mulai bervariasi. Tayangan film film masa kecilku, “Little House on the Praire” membuat saya selalu bermimpi untuk bisa keluar negeri. Teringat waktu saya kecil ketika nonton film itu, selalu saja sebuah bisikan masuk ke telinga saya, bahwa One day you will be there. Sampai ketika saya tamat kuliah S1 di tahun 2001, saya dan beberapa teman S1 mulai berani lamar beasiswa. Arma, sahabat saya yang brilliant ini, memang hebat dan mujur karena bisa langsung lulus di percobaan pertama. Saya mulai, menjadi solo fighter, karena kawan lainnya sudah mundur. Tahun berikutnya menjadi tahun pertama solo figther dalam hal pencarian beasiswa ke luar negeri. Ketika dapat amplopnya dan saya liat amplopnya kecil, saya tak membukannya, karena saya sudah yakin pasti tak lulus lagi. Tahun 2003, tahun ke tiga saya daftar, yang mendapat amplopnya bukan saya tapi ibu saya, saya hanya titip pesan pada ibu, jika tipis, ga usah dibuka ibu, buang saja. 10 Tahun saya dihadiahi amplop tipis, sampai saya lupa rasa PAHITNYA Gagal ditolak beasiswa. Tahun 2010, saya kaget buka email dari salam satu implementer beasiswa dari USAID, yang menyarankan saya supaya saya melamar beasiswa ke AED lagi seperti tahun lalu untuk lanjut ke AMERIKA S2. Saya kaget, mengapa ada yang tawari saya daftar, toh biasanya saya ditolak. Akhirnya saya beritahu hal ini ke istri saya dan saya juga berkata bahwa saya mau daftar kalau dia juga ikut daftar. Saya berfikir siapa tahu gara gara istri saya daftar saya bisa sukses. Mulailah saya susun dengan rapi semua yang harus saya siapkan. Saya dan istri saya mulai memperbaiki essay yang telah kami buat dengan berkonsultasi kepada sahabat saya yang telah duluan kuliah di luar negeri. JRENG......kami LOLOS ke 40 besar dan masuk ke final round....25 orang akan dikirim ke amerika untuk kuliah....jatah untuk sulawesi hanya 1 orang.....saya diinterview dan istri saya juga....karena jatah sulawesi hanya satu...kami pesimis....tapi melihat suasana interview yang alot yang hampir sejam, membuat saya mulai memaksimalkan usaha dengan untaian doa. Al hasil seminggu lebih menunggu, ketika itu saya sedang habis sholat dhuhur, saya iseng iseng buka laptop dan bilang ke istri cek email deh...sapa tau ada pengumuman. Dan ternyata ada pengumuman betul....JRENG....SAYA lulus..........AMERIKA.....TUNGGU SAYA. PENJUAL ES, PENGUMPUL KAYU BAKAR, ORANG YANG TAK PERNAH TAHU RASANYA HIDUP DI KOTA INI AKAN MENGINJAKKAN KAKI DI AMERIKA.
Muhammad Jufrianto
CGP SMA Negeri 3 Takalar
Komentar
Posting Komentar