AKU, MURID, DAN KELASKU

(Sebuah Refleksi singkat tentang konsep Siswa dan Pembelajaran menurut sudut pandangku sebelum dan sesudah membaca Modul 1.1 dalam program Pendidikan Calon Guru Penggerak Tahun 2021)

 

Karya: MUHAMMAD JUFRIANTO

Dalam tulisan kali ini, saya akan membagikan hasil refleksi saya selama dua pekan mempelajari Modul 1.1 Refleksi Filosofis Pendidikan Naisonal Ki Hadjar Dewantara karya Simon Petrus Rafael, M.Pd, yang lebih mengkhususkan pada tiga informasi utama yaitu pandangan saya tentang murid dan pembelajaran sebelum membaca modul 1.1, perubahan yang terjadi ketika mengetahui isi modul 1.1, dan rencana kegiatan yang sesuai dengan pemikiran Bapak Ki Hadjar Dewantara yang bisa segera saya laksanakan setelah proses pendidikan ini.

1.    Apa yang saya percaya tentang murid dan pembelajaran di kelas sebelum saya mempelajari modul 1.1?

Sebelum mempelajari modul 1.1 pemikisan saya tentang murid dan pembelajaran itu masih memegang konsep konvensional, sama seperti rekan-rekan guru yang lainnya di sekolah yang masih beranggapan bahwa siswa itu sebagai obyeknya. Siswa hanyalah menerima asupan makanan dari kita, tanpa pernah menanyakan makanan seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana cara makanan tersebut saya sajikan untuk dimakan. Setiap awal semester, saya tidak pernah melibatkan anak didik saya dalam proses pendesainan Rencana Pembelajaran di kelas. Semua metode dan kegiatan belajar yang saya akan ajarkan semua berdasarkan pemikiran saya bahwa ini yang mereka butuhkan, meskipun pada dasarnya secara teori, saya harus melakukan “needs analysis” atau yang biasa disebut dengan analisis kebutuhan siswa. Hasil analisis inilah ayang akan seharusnya saya padankan dengan target kurikum yang berlaku pada saat itu. Selanjutnya, sebelum mengajarkan, saya juga tidak pernah melakukan kegiatan seperti “kesepakatan kelas” yang tentu saja akan sangat bermanfaat untuk mengatur rambu-rambu yang Guru dan peserta didik harus patuhi. Padahal, secara teori, kesepakatan kelas itu akan sangat bermanfaat, bukan hanya sebagai pengontrol dalam menjalankan kelas itu kedepannya, namun juga sebagai alat pencetak sikap-sikap positif bagi guru dan peserta didik. Sikap-sikap positif yang saya maksudkan di sini bisa berupa semakin tingginya karakter disiplin, rajin, beriman dan bertakwa, sopan-santun, dan keteladanan dalam diri guru dan peserta didiknya. Hal ini bisa tercapai karena semua aturan yang telah disepakti dalam poin “kesepakatan kelas” tersebut dibuat atas kesepakatan bersama. Jadi tentu saja meskipun nantinya mereka melanggar kesepakatan tersebut, mereka akan dengan ikhlas menjalankan konsekuensinya. Yang kedua dalam hal siswa, sebelum membaca modul ini, saya adalah tipe guru yang percaya bahwa yang dibutuhkan oleh siswa SMA itu adalah nilai rapor yang tinggi. Saya selalu berfikir bawah nilai yang tinggi adalah tujuan akhir mereka. Hal ini yang membuat saya lupa bahwa tugas saya bukan hanya mengajar tetap lebih kepada mendidik mereka, hingga mereka bisa menjadi pribadi yang baik, berbudi pekerti luhur sesuai cita-cita bangsa.

Dalam hal pembelajaran, saya masih sering memegang prinsip “Teacher centered”. Semua pembelajaran saya masih dipengaruhi oleh kebiasaan “dominasi guru”, bahwa guru adalah sumber informasinya. Jadi di setiap awal pelajaran, waktu 2 x 45 menit hanya dihabiskan dengan pemberian materi kognitif dari guru. Ini tentu saja tidak akan memberikan suasana yang menyenangkan bagi anak. Mereka kemungkinan bosan menghadapai metode seperti itu, namun karena mereka mungkin merasa takut untuk menyampaikan perasaan mereka sehingga sampai saat sebelum saya membaca modul 1.1 saya terus mengaplikasikan metode seperti ini. Lebih lanjut lagi dalam hal pembelajaran, saya paling suka mengadopsi materi yang bersumber dari luar. Tak sedikit game-game, dan bacaan yang saya ambil dari website luar negeri, berhubung karena mata pelajaran yang saya ajarkan adalah Bahasa Inggris. Apalagi jika waktu untuk merampungkan materi itu terbatas, saya bahkan kadang tidak memperhatikan apakah materi tersebut cocok dengan tingkatan kompetensi yang dimiliki oleh peserta didik yang akan saya ajar atau tidak.

Selain itu, dalam hal pembelajaran, saya juga masih biasa beranggapan bahwa guru adalah kondekturnya. Semua kegiatan harus berada dalam kekuasaan guru, tanpa melibatkan siswa dalam menyepakatinya. Sebelum membaca modul 1.1, saya berasumsi  bahwa  proses pembelajaran saya masih monoton, terutama dalam hal tempat. Kadang saya masih memilih untuk mengajar di kelas pada saat materi tersebut seharusnya disajikan dengan praktek di luar kelas. Terkadang, saya langsung memutuskan untuk menjelaskannya saja tanpa praktek, dan melakukannya di dalam kelas.   Hal ini membuat peserta didik lambat dalam mengerti proses kegiatan yang saya jelaskan. Sebagai contoh, ketika saya menjelaskan tentang materi “ Resep atau Tips” dalam teks yang berbentuk prosedur. Saya masih sering menjelaskan materi cara membuat kopi atau pisang goreng dengan tidak langsung membawa bahan bahan aslinya ke dalam kelas, atau mungkin membawa mereka langsung ke dapur di sekolah dan menjelaskannya sambil mempraktekkannya. Dampak dari kegiatan tersebut adalah kata-kata “imperative” yang seharusnya mereka bisa langsung ingat maknanya dan gunakan dengan tepat sering terlupa di pertemuan selanjutnya.

Yang terakhir dalam hal pembelajaran, saya adalah guru yang masih selalu berfikir bahwa setelah mengajar di kelas, tidak ada lagi hal lain yang perlu saya lakukan. Saya tidak pernah menerapkan teori tentang “Refleksi Harian/mingguan seorang guru” setiap selesai mengajar, memang, teori tentang refleksi ini telah saya pelajari ketika saya kuliah dulu, bahwa refleksi itu adalah pencatatan tentang daftar kegiatan yang belum terlaksana di kelas, apa kendalannya, dan catatan lain yang dianggap penting untuk kelas tersebut. Namun dalam pengaplikasiannya sehari-hari, saya masih sering lupa. Ini kemungkinan besar terjadi karena kurangnya waktu luang yang ada di antara pergantian jam.

2.    Apa yang berubah dari pemikiran atau perilaku saya setelah mempelajari modul ini? 

Setelah mengikuti pendidikan Calon Guru Penggerak selama dua minggu ini, ada hal yang berubah, terutama dalam konsep pendidikan dan pengajaran. Dulu, saya yang masih sering berfikir konvensional, bahwa siswa itu hanyalah sebagai obyek yang hanya menerima asupan materi dari guru, bahwa guru adalah penguasa utuh dikelas tanpa melibatkan siswa dalam proses pembuatan kesepakatan harus berubah ke konsep merdeka belajar. Dalam konsep merdeka belajar, seperti yang saya telah dapatkan setelah membaca semua materi di modul 1.1 semua hal diatas bertentangan dengan konsep pemikiran Bapak Ki Hajar Dewantara (KHD). Di dalam modul 1.1, Rafael  (2020: 50) menekankan bahwa setiap anak itu memiliki kekuatan kodrat nya masing-masing. Kekuatan kodrat ini terdapat dalam hidup lahir dan hidup batin mereka. Oleh nya itu tentulah ada yang namnya keragaman.  Setiap anak akan memiliki kodrat alam yang berbeda. Dan setiap generasi memeiliki kodrat zaman yang berbeda. Mereka datang ke sekolah dengan latar budaya, ekonomi, dan tingkat pendidikan keluarga yang berbeda-beda. Olehnya itu, proses perubahan dari “teacher centered “ ke “student centered” sangat perlu dilakukan. Proses melibatkan anak didik dalam pembuatan kesepakatan kelas, atau segala aturan di dalam proses belajar mengajar kita di kelas akan sangat membantu untuk menciptakan suasana kelas yang menyenangkan. Hal ini juga tentu akan berkaitan dengan keegoan saya di dalam merancang kegiatan pembejaran. Kebiasaan ini tentu harus diubah demi menciptaktan suasana belajar yang diinginkan peserta didik. Demikin pula dalam hal kebutuhan siswa. Dalam modul ini telah ditekankan bahwa anak perlu dituntun untuk menyelaraskan kebutuhan kodrat zaman nya dan kodrat alamnya. Meskipun anak didik diberikan kemerdekaan namun guru sebaikanya mampu bertindak sebagai pamong hingga anak didik tersebut tidak salah arah.

Selanjutnya dalam hal pembelajaran, melihat semua materi yang telah dipelajari dalam Modul 1.1 ini, ada beberapa hal yang tentu saja membuat pemikiran saya berubah . Yang pertama adalah tentang adanya konsep “ berhamba pada sang anak”. Sesuai pemikian Bapak Ki Hadjar Dewantara, guru adalah seorang pendidik yang harus orientasinya adalah siswa, utamanya tentang bagaimana menuntun mereka mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Dalam konsep ini, guru dituntut untuk menciptkan pembelajaran yang sangat menyenangkan bagi anak. Dalam setiap pembelajarannya, guru harus banyak melibatkan siswa hingga ia bisa merasakan pembelajaran yang bermakna dan teringat sepanjang masa.

Lebih jauh lagi, sesuai dengan pemikiran Bapak Ki Hadjar Dewantara, Seorang guru tidak boleh hanya mengikuti kodrat zaman saja, tetapi harus juga menyelaraskan dengan kodrat alamnya. Hal ini seperti yang Rafael (2020:24) kemukakan bahwa “pendidikan sejatinya menuntut anak mencapai kekuatan kodratnya sesuai alam dan zaman”. Dalam hal ini, digambarkan lebih lanjut bahwa muatan dan konten materi pengetahuan yang diadopsi sejatinya harus selaras dengan nilai-nilai budaya yang ada di Indonesia.  Hal ini tentu saja membuat saya mengubah kebiasaan saya mengadopsi  materi dari luar tanpa penyelarasan dengan konteks budaya lokal yang dimiliki siswa. Kebiasaan saya mengadopsi materi tanpa menyesuaikannya berdasarkan tingkat kompetensi yang dimiliki oleh peserta didik. Tentu saja ini semakin memperlihatkan suatu potret pendidikan yang bukan hanya tidah mengikuti kodrat alam dan zaman tetap juga tidak menghamba pada sang anak.

 

Hal lain yang saya harus ubah adalah proses pembuatan refleksi setiap pengajaran. Dalam dua minggu kegiatan belajar modul 1.1, setiap minggunya kita dituntut untuk membuat refleksi. Hal ini tentu saja memberikan saya ide yang mungkin sederhana bagi orang lain, namun bagi saya, ini akan memberikan dampak yang besar dalam perbaikan saya menjadi pendidik yang lebih well-prepared  di kelas selanjutnya.

 

3.    Apa yang bisa segera saya terapkan lebih baik agar kelas saya mencerminkan pemikiran KHD?  

Untuk menerapkan kelas yang bisa mencerminkan pemikiran KHD tersebut ada beberapa hal yang akan saya terapkan setelah pendidikan ini:

·    Duduk bersama guru-guru mata pelajaran serumpun di sekolah untuk mendesain dan meramu bersama – sama materi yang bisa diadopsi dan diciptakan yang selaras dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Unsur budaya seperti permainan tradisional, cerita rakyat, dan lagu tradisional bisa dimasukkan dalam topic-topik yang relevan di Mata pelajaran bahasa Inggris. Di UPT SMA negeri 3 Takalar, ada 6 guru Bahasa Inggris. Dari jumlah tersebut, saya akan membaginya ke dalam 3 kelompok, sesuai tingkatan kelas yang masing-masing guru ampu. Setiap kelompok kecil akan mendesain materi yang bercirikan kearifan lokal dan mendaftar susunan kegiatan yang kemungkinan akan dilakukan di kelas. Hasil kesepakatan materi ini akan dipresentasikan dalam kelompok berenam dan hasilnya akan kami bagi ke siswa , apakah lewat angket ataupun lewat diskusi kesepakan di kelas setiap awal semester.

·    Di awal semester depan, saya akan melibatkan peserta didik saya dalam pembuatan kesepakatan kelas, dan budaya dalam kelas. Saya juga akan melibatkan mereka dalam menyepakati bahkan mengusukan kegiatan belajar mengajar yang mereka inginkan untuk materi tertentu di semerter ganjil yang akan dating. Saya berharap, dengan adanya pelibatan siswa, saya bisa mengubah kebiasaan “techer centered” saya yang dulu menjadi program kelas yang “berhamba pada sang anak”.

·    Pemvariasiaan dalam tempat belajar siswa. Dengan Konsep “NPR” (Naungan Pohon Rindang), “KB” (Koridor Belajar), dan mungkin konsep “BLT” (Belajar lewat Touring). Ketiga konsep ini bisa saya cetuskan ke depannya tergantung materi yang akan saya ajarkan.

·    Pembuatan daftar harapan dan kekhawatiran di awal semester. Kegiatan ini saya adopsi dari kegiatan awal di lokakrya 0 program pendidikan calon Guru Penggerak yang telah saya ikuti. Dalam kegiatan ini, saya akan mendesain pertanyaan – pertanyaan yang berkaitan, harapan / keinginan materi yang mereka inginkan dalam tema materi yang disediakan oleh kurikulum, metode-metode apa yang mereka inginkan ketika mengikuti kegiatan belajar dari materi tersebut, dan apa kekhawatiran-kekhawatiran mereka dalam belajar satu semester ke depannya, baik berkaitan dengan kompetensi yang mereka miliki, maupun tentang latar belakang yang mereka punyai.

 Demikianlah refleksi ini saya buat dengan harapan saya akan bisa menjadi guru yang lebih bijak dan berpihak pada anak. Semoga ringkasan ini akan terus menjadi bahan renungan bagi saya dalam mengantarkan peserta didik saya ke gerbang keselamatan dan kebahagiaan mereka yang setinggi-tingginya.

Salam bahagia, salam Guru Penggerak!



Komentar

  1. KEREN PAK GURU SEMOGA SUKSES SEGALA RENCANANYA UNTUK BANGSA

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin YRA. Semoga dimudahkan dan berberkah untuk semua. Salam Bahagia, salam Guru Penggerak.

      Hapus
  2. Luar biasa pak Jufri ...harapan Bapak untuk menjadi guru yang bijak dan berpihak pada anak..Insyaallah akan terwujud ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin YRA. Doakan kami mampu melakukannya dengan ikhlas bakti budi bangsa. Amin YRA. Salam Bahagia, salam Guru Penggerak.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer